SINTANG, KALBAR – Maraknya aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah perairan sepanjang Sungai Kapuas Kanan Hilir, Kecamatan Sintang, kini semakin bebas dan seolah tidak tersentuh hukum. Puluhan lanting (sarana aktivitas PETI) terlihat beroperasi tanpa pengawasan yang berarti. Pertanyaan yang muncul adalah, ke mana Aparat Penegak Hukum (APH)? Kapolres Sintang pun terkesan bungkam, menutup mata, dan membiarkan aktivitas ilegal ini terus berjalan.
CAHAYANEWSKEPRI.COM – Berdasarkan pantauan langsung tim awak media di lapangan, aktivitas pertambangan emas yang diduga tidak memiliki izin resmi ini terjadi tidak jauh dari lingkungan perkotaan, wilayah hukum Polres Sintang, Polda Kalbar.
Saat awak media melakukan konfirmasi dengan warga sekitar yang enggan disebutkan namanya, mereka mengungkapkan bahwa meskipun merasa terganggu dengan kebisingan mesin pertambangan emas, mereka tidak pernah mendengar adanya penertiban atau penahanan terhadap para penambang ilegal. “Sejauh ini aman-aman saja sih, pak. Tidak pernah dengar berita penertiban atau penahanan, paling hanya dihimbau saja kalau ada razia. Mungkin karena ada yang membekingi,” ujar warga tersebut saat melintas di dekat lokasi aktivitas tersebut.
Penertiban terhadap aktivitas pertambangan ilegal ini membutuhkan keseriusan dari aparat penegak hukum, khususnya Polres Sintang dan Polda Kalbar, untuk menindak tegas dan memberikan efek jera. Dengan demikian, tidak akan ada lagi pertambangan emas tanpa izin dan masyarakat bisa diajukan untuk membuat izin pertambangan secara resmi, sesuai dengan atensi dari Kapolri dan Program 100 Hari Kerja Presiden Prabowo.
Hal ini jelas telah melawan hukum dan perintah yang disampaikan langsung oleh Kapolri dan Kapolda Kalbar, agar semua pertambangan tanpa izin dihentikan dan, jika ingin beraktivitas, harus melalui proses perizinan yang sah. Namun hingga saat ini, praktik ilegal ini masih marak dan terkesan dibiarkan.
Dampak dari aktivitas pertambangan yang diduga ilegal ini sangat merugikan. Pertama, terjadi kedangkalan sungai yang dapat menyumbat aliran air, terutama saat curah hujan tinggi, yang dapat menyebabkan air meluap hingga ke permukiman pesisir. Kedua, air sungai tercemar dan berpotensi membahayakan masyarakat, karena pertambangan emas tersebut menggunakan air merkuri untuk memisahkan emas dari lumpur pasir, yang tentunya berbahaya jika tercampur dengan air minum masyarakat.
Kami berharap ada solusi untuk masalah ini, yakni agar izin pertambangan diurus dengan benar, sehingga para pekerja pun bisa bekerja dengan nyaman dan merasa tenang.
Berdasarkan penelusuran hukum, jika terbukti ada yang melakukan aktivitas pertambangan tanpa izin, maka pelaku bisa dikenakan sanksi pidana dan denda.
“Berdasarkan regulasi dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 158 UU tersebut menyebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000. Selain itu, setiap orang yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, juga dapat dipidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 160,” demikian informasi dari Hukumonline.com.
Kami mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) di wilayah Sintang untuk lebih serius dalam menangani masalah pertambangan emas tanpa izin ini, sesuai dengan atensi Kapolri.
Saat awak media mencoba mengonfirmasi masalah ini, Kapolres Sintang AKBP I Nyoman Budi Artawan, S.H., S.I.K., M.M., tidak memberikan tanggapan atau jawaban, bahkan terkesan mengabaikan (ghosting) upaya konfirmasi dari tim media. [JN/98]
Sumber: Tim Gabungan Investigasi Awak Media LK / BST